Saya
mengenal Rani pertama kali lewat IRC. Mulanya kami ngobrol biasa saja
(kenalan, bercanda, tebak-tebakan, dan sebagainya). Menginjak minggu ke
dua, tidak di sangka dia menanggapi secara antusias setiap obrolan saya
yang berbau seks. Sampai saat itu sebenarnya saya masih ragu apakah Rani
ini betul-betul perempuan atau cuma laki-laki iseng yang menyamar
sebagai wanita. Maklumlah, selama ini kami berkomunikasi hanya secara
tulisan, bukan lisan. Keragu-raguan itu akhirnya musnah setelah kami
melakukan “copy darat” di Plaza Senayan. Ternyata dia seorang wanita
muda. Tidak begitu cantik tapi tidak juga jelek. Sedang-sedang sajalah.
Yang istimewa darinya adalah bentuk tubuh yang montok dan buah dadanya
yang besar di atas rata-rata buah dada wanita Indonesia.
Setelah berbicara beberapa saat, dia mengajakku ke rumahnya di daerah
Pondok Indah. Dari situ saya mengetahui bahwa Rani sebenarnya adalah
seorang ibu rumah tangga. Suaminya sekarang sedang bekerja di sebuah
kontraktor.
Setelah masuk ke ruang tamu, Rani mempersilakan saya menunggu, sementara
dia membuatkan es jeruk untuk saya. Agak lama saya menunggu sampai
akhirnya saya melihat Rani keluar membawa segelas es jeruk. Pakaian
kerjanya telah ia ganti menjadi daster tipis. Darah saya langsung
berdesir melihat puting susunya yang menyembul karena ia melepaskan
BH-nya. Setelah saya minum beberapa teguk, tidak saya sangka Rani
langsung memeluk dan menciumi saya dengan sangat bernafsu. Lidahnya
menjalar di dalam rongga mulut saya. Tangannya memasuki kemeja saya lalu
mengusap-usap dada saya. Kemudian tangannya mulai bergerak turun,
menuju ritsluiting celana luar saya lalu membukanya. Jari-jarinya
menyeruak masuk ke celana dalam dan menyentuh bulu-bulu keriting sebelum
akhirnya sampai pada penis saya yang sudah membesar. Nikmat sekali
rasanya. Tangannya meremas-remas penis saya dan sesekali meremas pula
kantong pelir saya. Saya menyambutnya dengan memasukkan jari saya ke
dalam dasternya. Buah dadanya yang sangat besar kuremas dengan sangat
bernafsu. Tangan satu lagi saya masukkan ke dalam celana dalamnya. Dari
situ saya masukkan jari tengah saya ke dalam lubang vaginanya yang sudah
basah. Dia mengerang ketika jari-jari tangan saya mengorek-ngorek
dinding vaginanya. Tidak puas dengan satu jari, saya masukkan lagi jari
telunjuk saya hingga sekarang dua jari masuk ke dalam vaginanya. Jari
manis dan jempol saya gunakan untuk mencubit-cubit kelentitnya yang
besar dan keras. Dia merintih manja.
Di saat-saat hot seperti itu tiba-tiba dia melepaskan pelukannya. “Di
dalam saja yuk”, pintanya sambil menarik tanganku. Aku menurut lalu
mengikutinya menuju kamar tidur. Di sana dia mulai melepaskan seluruh
pakaiannya, begitu pula saya hingga kami sekarang dalam keadaan
telanjang bulat.
“Ikat saya pakai ini”, katanya sambil memberikan kepadaku beberapa utas
tali. Saya terdiam keheranan. “Ayo, jangan ragu-ragu. Siksa dan sakiti
aku sepuas hatimu.”
“Tapi..”, tanyaku.
“Jangan takut, Rani menikmati kok. Ayo cepat.. tunggu apa lagi?”
“Oke”, sahut saya. Memang inilah yang paling saya senangi. Bergegas saya
mengambil segumpal kain lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Setelah
itu mulutnya saya ikat kuat hingga tak mungkin dia dapat berteriak.
Kalaupun berteriak, suaranya tidak akan terdengar karena sangat lirih
terendam kain tebal. Setelah itu kedua tangan dan kedua kakinya saya
ikat ke masing-masing sudut tempat tidur. Sekarang tubuhnya sudah
benar-benar tidak berkutik. Posisinya telentang seperti patung
pembebasan Irian Barat.
Siksaan dimulai. Buah dadanya yang sangat besar saya tarik kuat-kuat
lalu pangkalnya saya ikat hingga sekarang bentuk buah dadanya seperti
balon. Demikian pula dengan buah dadanya yang satu lagi. Dia menjerit
sekuat-kuatnya. Saya dapat melihat buah dadanya yang putih dan montok
sekarang berubah kemerah-merahan. Pembuluh darahnya membesar sebab darah
tidak dapat mengalir lancar. Benar-benar mengerikan bentuknya. Saya
ambil dua utas karet gelang. Karet gelang itu saya pilin berkali-kali
sampai kecil lalu saya ikatkan ke puting susunya. Rani menjerit
sekuat-kuatnya. Tubuhnya mengejang merasakan sakit yang tiada tara.
Saya lari ke belakang, ke tempat jemuran. Di sana saya mengambil
beberapa penjepit jemuran. Sampai di kamar ternyata Rani sudah mulai
agak tenang. Tanpa buang waktu, saya jepit kedua puting susunya. Dia
menjerit sangat keras. Tubuhnya kembali meronta-ronta. Tapi ikatan pada
tubuhnya terlalu kuat hingga dia tidak dapat berkutik. Penjepit
berikutnya hendak saya pasang di kelentitnya. Tapi dia meronta. Mulutnya
berusaha mengatakan sesuatu tapi kain yang membungkam mulutnya membuat
kata-katanya tidak terdengar jelas bagiku. Ketika saya hendak
menjepitkan penjepit itu ke klitorisnya, dia menggoyang-goyangkan
pinggulnya agar usaha saya gagal. Tapi saya tidak menyerah begitu saja,
perutnya saya duduki lalu secepat kilat penjepit itu sudah menancap erat
di klitorisnya. Rani menjerit sangat kuat. Tubuhnya mengejang dan
meronta-ronta menahan sakit yang teramat sangat. Mukanya memerah dan
dari matanya saya melihat tetesan air mata.
Saya tinggalkan tubuhnya yang menggelepar-gelepar kesakitan. Saya masuk
ke ruang makan. Di dalam lemari es (kotak dingin) saya menemukan sebuah
pare putih (Momordica charantia, bentuknya seperti mentimun, berasa agak
pahit dan biasanya dijual tukang siomay bersama tahu, kentang, dan kol)
sangat besar. Pare ini kemudian saya pakai untuk mengocok lubang
vaginanya dengan sangat cepat dan kasar. Rani menggelepar-gelepar saat
pare yang sepanjang permukaannya berbintil-bintil sebesar biji jangung
itu keluar masuk lubang vaginanya. Pare yang semula kering sekarang
penuh dilumuri lendir putih, licin, dan berbau khas. Sebagian lendir
lain yang berubah menjadi busa karena dikocok, meleleh keluar vagina
menuju anus. Rani sepertinya menikmati perlakuan ini. Bibir vaginanya
membesar dan merekah. Setelah sepuluh menit, saya lihat tubuh Rani
mengejang. Kakinya menendang-nendang. Pinggulnya terangkat ke atas.
Mulutnya berteriak keras. Saya kira dia mengalami orgasme hebat.
Setelah tubuhnya mulai tenang, saya lepas ikatan pada kedua kakinya.
Kaki itu kemudian saya angkat ke atas kepalanya hingga lututnya
menyentuh buah dadanya lalu saya ikat kembali. Saya masukkan penis ke
dalam lubang vaginanya yang menganga lebar. Sampai di sini tidak ada
masalah baginya. Bahkan sepertinya Rani sangat menikmati. Setelah tiga
kali dorongan, saya cabut penis saya yang sekarang sudah penuh dengan
lendir licin. Dengan cepat saya tusukkan penis saya ke dalam lubang
duburnya. Sempit dan sulit sekali. Penis saya sampai bengkok. Rani
berteriak hendak mengatakan “Jangan”. Kepalanya menggeleng-geleng. Saya
tidak peduli. Pada usaha berikutnya saat penis saya benar-benar keras,
lubang anusnya berhasil saya tembus hingga dalam. Rani menjerit. Setelah
masuk seluruhnya, saya kocokkan penis saya keluar masuk dengan sangat
cepat. Rani kembali berteriak kesakitan. Kakinya menendang-nendang tapi
percuma saja, karena penis saya tidak mungkin dapat lepas. Sekitar 4
menit kemudian saya merasakan ejakulasi telah hampir sampai. Saya ambil
bantal lalu saya tutupkan ke muka Rani hingga Rani tidak dapat bernafas.
Saat itulah saya mempercepat gerakan penis saya maju mundur. Sepuluh
detik kemudian penis saya benar-benar menegang, memuntahkan sperma
banyak sekali ke dalam anusnya. Ah, nikmat sekali. Saya menikmati
peristiwa itu selama belasan detik sampai kemudian saya sadar bahwa
rontaan Rani semakin melemah. Cepat-cepat saya angkat bantal yang
menutupi mukanya. Rani tersengal-sengal sambil diselingi batuk-batuk.
Hampir saja dia mati tercekik.
Setelah puas, saya mulai melepas semua ikatannya lalu saya bertanya,
apakah ia menikmati perlakuan saya ini? Dia mengangguk kemudian memeluk
saya erat-erat. Bibirnya menciumi seluruh muka saya tak henti-hentinya.